Kamis, 21 April 2011

Harga Obat Semakin Mahal, Salah Dimana?

Belum lama ini kita mendapatkan informasi dari pemerintah bahwa akan ada kenaikan harga obat sebesar 10 persen. Hal ini disebabkan semakin tingginya harga bahan baku obat sendiri dimana sebagian besar bahan baku tersebut harus diimpor dari luar negeri. Bagi masyarakat pasti hal ini akan semakin berat. Dengan kata lain, sebisa mungkin kita tidak boleh sakit. Bayangkan, jika dulunya kita membeli obat sakit kepala yang dulunya hanya seribu perak, dengan adanya kenaikan ini, harganya bisa dua kali lipatnya. Lho, kok bisa begitu? Padahal kenaikan harga yang disebutkan oleh pemerintah kan cuma 10 persen, tapi mengapa harga jual di pasar bisa dua kali lipatnya? Berarti pedagang terlalu tinggi mengambil untungnya dong?
Saya sebagai salah satu pelaku pasar di bidang ini tentu tak ingin disalahkan seperti itu. Memang yang namanya pedagang pasti tujuannya satu, ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi, perlu diingat juga, jika kita ingin mengambil untung sebesar mungkin jika produk yang dijualnya tidak laku di pasaran juga tidak ada gunanya, apalagi jika kita yang bergerak di bidang retail. Sebab, patokan dari kita sebagai pengusaha retail, kita mengambil keuntungan berdasarkan selisih pembelian dari distributor dengan penjualan ke customer. Persaingan harga pun lebih terasa di bidang retail pada umumnya. Contohnya sebagai berikut, produk A dulunya dari distributor harga Rp. 1000,- per strip. Ketika mengalami kenaikan bahan baku obat seperti yang diberikan oleh pemerintah, harga yang diberikan distributor ke retail bukan berarti hanya naik 10 persen dari harga lama, ternyata bisa naik hingga 50 persen menjadi Rp. 1500,- per strip. Lalu, apakah kita akan menjualnya dengan harga 1100? Tentu tidak bukan? Lalu, mengapa bisa begitu?
Dari berbagai macam informasi dan data yang saya kumpulkan, dan juga berbagai macam contoh kasus yang pernah saya alami, saya memiliki gambaran dan kesimpulan mengenai distribusi obat yang ada di negeri kita ini:
•    Sistem pengawasan yang kurang dari pihak produsen obat maupun pemerintah bahkan seperti sengaja dibiarkan dalam hal distribusi obat menyebabkan banyak terjadi ketimpangan dalam pengontrolan harga di pasar.
•    Adanya ketimpang-tindihan antar sesama distributor dimana harga obat yang seharusnya khusus untuk konsumen tertentu (pelaku tender contohnya) ternyata bisa diperoleh oleh konsumen luas. Hal ini bisa terjadi karena ada permainan antara orang dalam di distributor itu sendiri.
•    Terjadinya kongkalingkong antara pihak detailer obat kepada praktisi kesehatan (dokter), sehingga biaya promosi yang seharusnya bisa diterima oleh retail menjadi tidak sampai.

Kesimpulan yang ketiga ini bukanlah mengada-ada, tetapi berdasarkan atas apa yang saya alami selama saya membuka usaha apotek. Pernah waktu itu saya didatangi oleh salah satu detailer obat dari satu pabrik terkemuka di Indonesia. Ia menawarkan salah satu produknya untuk disediakan di apotek saya. Sebenarnya saya tidak berkeberatan dengan hal tersebut. Namun ketika saya menanyakan bentuk kerjasama yang ia tawarkan lalu mengenai kondisi khusus harga yang disepakati, ternyata saya tidak menerima suatu penawaran yang saling menguntungkan dan penawaran tersebut terkesan dipaksakan kepada saya. Sebelumnya produk tersebut sudah tersedia di apotek saya, tetapi saya membeli bukan dari distributor utama (dalam hal ini pihak mereka sendiri) melainkan dari sub distributor dari mereka (pihak kedua). Logikanya, jika saya membeli dari pihak kedua, seharusnya harga yang ditawarkan pasti lebih tinggi bukan? Ternyata tidak demikian, malah pihak kedua memberikan harga lebih rendah dari distributor utama. Saya sebagai pedagang (dan sudah pasti pedagang keseluruhan) sudah barang tentu memilih penawaran dari pihak yang memberikan penawaran yang lebih bagus. Sayapun menolak kerjasama tersebut, karena dengan penawaran tersebut saya tidak bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan harga murah untuk produk tersebut. Ketika saya menolak kerjasama tersebut, terjadi suatu kejadian yang sangat mengagetkan saya. Frekuensi resep dari dokter tersebut yang menggunakan resep tersebut menurun drastis. Awalnya saya berpikir hal tersebut lumrah, tetapi lama kelamaan saya menjadi curiga karena hal tersebut sudah berlangsung selama 3 bulan berturut-turut. Ketika saya mulai menyelidiki hal tersebut, ternyata pihak detailer obat tersebut memberikan informasi ke dokter tersebut bahwa apotek saya tidak bersedia bekerjasama sehingga perlakuan khusus (komisi maksud saya) yang dijanjikan tidak dapat diperoleh oleh dokter tersebut. Ia sepertinya menyarankan ke dokter tersebut untuk mengalihkan ke apotek lain yang lebih jauh dari klinik tempat ia praktek resep yang ia berikan kepada pasien.
Menurut saya sebagai pedagang, hal ini justru merusak reputasi apotek saya, dan saya sangat kecewa dengan praktek-praktek semacam ini. Jadi sebenarnya, end user dari obat di negeri kita ini siapa? Kalau praktek-praktek demikian terus terjadi, bagaimana kita sebagai pengusaha apotek bisa memberikan pelayanan yang terbaik kepada customer jika kita sendiri tidak diberikan perlakuan yang baik dari pihak distributor? Bukankah biaya promosi (entertainment) semacam itu seharusnya diberikan kepada pihak retail bukan? Ketika saya membicarakan hal tersebut kepada sesama pengusaha apotek, mereka tersenyum dan mengatakan bahwa hal-hal tersebut sudah menjadi rahasia umum dan susah untuk dihentikan, karena di negeri kita ini sebenarnya end user  obat itu bukan pasien, tetapi dokter (khususnya obat-obatan resep) sehingga tercipta iklim usaha demikian. Kalau produknya ingin laku dan tertulis di resep, imbal baliknya apa kepada penulis resep tersebut.
Kembali ke kasus di atas, saya marah sekali. Adanya kongkalikong seperti itu menyebabkan omzet apotek saya turun drastis. Akhirnya saya melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah tersebut. Saya mengunjungi setiap apotek di sekitar klinik tersebut (dalam radius jarak 1 km) dan membeli seluruh produk tersebut yang tersedia di setiap apotek, kemudian saya menjualnya kembali dengan harga yang sangat murah dan bahkan (di bawah harga beli dari distributor), dan juga menawarkannya kembali ke apotek-apotek sekitarnya dengan harga sangat murah keesokan harinya. Hal itu saya lakukan selama 1 bulan berturut-turut sambil mengamati kondisi pasar. Memang tindakan saya itu sangat beresiko tinggi dan terlalu berspekulasi, tetapi tujuan saya ialah ingin menjatuhkan harga di pasar untuk produk tersebut dan membuat agar semua apotek di sekitar klinik tersebut membeli produk itu hanya ke apotek saya saja, tidak lagi membeli ke distributor utama ataupun agennya (karena harga yang saya tawarkan sangat murah). Apa yang saya harapkan terjadi. Setelah lewat 1 bulan, detailer obat tersebut kembali datang ke apotek saya dan kembali menawarkan produknya dengan harga yang berbeda dan meminta kepada saya untuk tidak melanjutkan kegiatan spekulasi itu di daerah saya. Tentu saja saya menolaknya kembali, mengingat perlakuan dia terdahulu menyebabkan kerugian yang cukup besar terhadap usaha saya disamping kerugian yang juga saya alami selama saya melakukan spekulasi di atas. Walaupun demikian, saya masih bisa menerima tawaran tersebut dengan cara memintanya agar saya mendapatkan harga separuh dari harga normal pembelian dan memintanya untuk tidak melakukan tindakan-tindakan seperti dulu di daerah saya. Pihak detailer agak keberatan, namun setelah cukup lama bernegosiasi akhirnya pihak detailer bersedia menerima persyaratan yang saya tawarkan.
Dari contoh kasus yang saya alami, saya simpulkan bahwa sebenarnya biaya promosi dari produsen tersebut bisa kita peroleh sebagai pelaku retail. Akan tetapi, hal tersebut menjadi terganjal akibat praktek-praktek yang tidak baik, sebab salah satu penyebab harga obat menjadi tinggi akibat praktek-praktek di atas. Kita sebagai pelaku usaha retail memang ingin meraih keuntungan yang besar, tetapi jika kita mendapatkan harga yang murah (dengan diskon yang sudah menjadi hak kita) akan dengan sendirinya memberikan harga yang terbaik kepada konsumen karena menurut saya, salah satu ujung tombak utama bagi pihak produsen untuk memasarkan produknya ialah apotek itu sendiri. Kalau hal-hal seperti ini bisa terhapuskan, saya berkeyakinan bahwa harga obat di negeri kita ini bisa ditekan kok dan masyarakat ekonomi rendah tidak lagi takut akan biaya jika dirinya sakit, yah itupun kalau pihak produsen maupun pihak pemerintah bertekad melakukannya, tapi kalau tidak ya susah juga ya. Habis mau gimana lagi, budaya korupsi maupun suap-menyuap seperti kasus di atas udah seperti budaya di negeri kita ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar