Minggu, 15 Mei 2011

Polemik Polifarmasi di Dunia Kesehatan Indonesia

Pernahkah menebus resep dokter yang isinya bermacam-macam obat? Bagaimana rasanya kalau dalam satu hari kita harus minum obat lebih dari 5 macam obat? Waduh, kalau saya mengalami hal seperti di atas, saya pasti tambah pusing, entah bagaimana dengan Anda.
Apakah itu polifarmasi? Bagi khalayak umum kata tersebut sudah barang tentu tidak dimengerti, tapi kalau bagi para praktisi kesehatan masih gak ngerti juga itu sudah kelewatan namanya. Bagi saya pengertian polifarmasi itu adalah suatu cara pengobatan yang berlebihan dimana suatu penyakit diobati dengan berbagai macam obat yang semestinya tidak perlu diberikan.
Jikalau demikian, pengobatan yang bagaimana yang dikatakan sebagai polifarmasi? Nah, pertanyaan ini sering menjadi perdebatan di antara kalangan praktisi kesehatan, terutama antara dokter dengan apoteker menurut kacamata pendidikan masing-masing. Terkadang dokter mengatakan pengobatan tersebut bukan polifarmasi, tetapi menurut apoteker hal tersebut sudah merupakan polifarmasi. Lalu, siapa yang benar dong?
Menurut saya sebagai seorang apoteker, pengobatan yang dapat dikatakan sebagai polifarmasi itu  jika obat yang diberikan tidak tepat sasaran. Memang mungkin semua obat yang diberikan itu memiliki kandungan yang dibutuhkan untuk menyembuhkan penyakit tersebut, tetapi sebenarnya bisa juga tidak diberikan karena efek terapinya tidak signifikan.
Sebagai contoh saya pernah mengalaminya sendiri. Saya memiliki penyakit lambung yang bisa dikatakan kronis. Suatu waktu saya terlambat makan, dan akhirnya sakit maag saya kumat. Saya tidak bisa tidur tenang, dan perih di ulu hati. Tanpa pikir panjang saya langsung pergi ke rumah sakit dan berobat di dokter spesialis penyakit dalam.Setelah diperiksa, dokter tersebut mengatakan bahwa saya mengalami tukak lambung. Kemudian saya diberikan resep untuk ditebus di instalasi farmasinya. Cukup lama saya perhatikan resep obat tersebut, dan saya merasa ada kejanggalan (mungkin karena saya apoteker) pada resep tersebut. Lalu saya tanyakan kepada dokter tersebut obat apa saja yang ia berikan ke saya. Dokter itu menjawab dengan memberikan keterangan yang kurang memuaskan dan sepertinya ia kurang senang dengan pertanyaan saya tersebut. Saya pun jadi sedikit emosi, tapi masih mencoba bersabar dengan mencoba menanyakannya kembali. Namun, kembali jawaban yang saya terima kurang memuaskan dan seperti tersirat dari jawabannya tersebut bahwa tahu apa saya soal pengobatan. Saya pun akhirnya dengan nada sedikit keras bertanya kepadanya mengapa dokter memberikan obat sakit kepala kepada saya padahal yang sakit lambung saya. Memang saya ada rasa pusing, tetapi pusing tersebut kan disebabkan karena efek dari nyeri di lambung saya. Jika lambung saya sembuh, pusing di kepala saya dengan sendirinya akan hilang. Kemudian saya bertanya lagi, untuk apa dia memberikan 3 macam obat lambung kepada saya yang memiliki efek terapi yang sama. Hal ini artinya dosis yang diberikan kepada saya kan sudah berlebihan. Dokter tersebut terkejut setengah mati dengan pertanyaan dan keterangan yang saya berikan kepadanya dan malah bertanya balik kepada saya siapa diri saya sebenarnya. Saya langsung menjawabnya bahwa saya seorang apoteker. Ketika mendengar jawaban saya tersebut, bertambah terkejutnya dia. Akhirnya dia meminta resep yang sudah diberikan kepada saya dengan alasan ingin mengeceknya lagi apakah memang ada yang harus dikurangi atau tidak dari resep yang diberikan kepada saya. Akhirnya saya memberikan kembali resep tersebut. Walaupun demikian, sembari memberikannya saya langsung berkata kepada dokter tersebut bahwa kalaupun resep tersebut akan dikurangi, saya tidak akan menebusnya dan mengatakan kepada dia bahwa saya tidak percaya lagi atas terapi apapun yang diberikan kepada saya.
Jika kejadian seperti yang saya tulis di atas pernah terjadi pada  diri Anda, lalu siapa yang harus disalahkan? Perdebatan mengenai hal ini sering menjadi bahan diskusi antara para tenaga kesehatan kita, khususnya apoteker dan dokter. Apoteker mengatakan hal tersebut sudah bisa dikatakan polifarmasi, tetapi menurut dokter ada beberapa hal yang belum tentu dapat dikategorikan sebagai polifarmasi. Kalaupun demikian, bagaimana solusi yang terbaik untuk masalah polifarmasi ini?